KUA Benua Kayong
KUA Benua Kayong

Puasa Arafah dan Idul Adha Berbeda, Ikut Siapa?


M. Syafi’ie Huddin (Kepala KUA Kecamatan Benua Kayong)

Umat muslim di Indonesia pada tahun ini kembali merayakan Idul Adha di dua waktu berbeda. Hal itu terjadi dikarenakan penetapan awal masuknya bulan Dzulhijjah 1444 H. dengan cara yang berbeda. Walaupun kita sadar, dan memang sering terjadinya perbedaan penetapan 1 Dzulhijjah, seperti terjadi pada tahun 2018 dan 2022 atau pada tahun-tahun sebelumnya. 

Organisasi Muhammadiyah mengawali bulan Dzulhijjah tahun ini pada Senin, 19 Juni 2023. Hal itu sebagaimana tertuang dalam Maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah tentang Penetapan Hasil Hisab Ramadan, Syawal, dan Zulhijah 1444 H. Dengan demikian, Hari Raya Idul Adha 1444 H menurut Muhammadiyah jatuh pada Rabu, 28 Juni 2023. 

Dikutip dari akun resmi Kementerian Agama Republik Indonesia, Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa'adi usai memimpin Sidang Isbat (Penetapan) awal Zulhijah, di Jakarta, Minggu (18/6/2023) mengatakan, 1 Dzulhijjah 1444 H jatuh pada Selasa, 20 Juni 2023. Keputusan itu menurutnya didasarkan dua hal. 

Pertama, Mendengar laporan Direktur Urusan Agama Islam (Urais) bahwa ketinggian hilal di seluruh Indonesia sudah berada di atas ufuk, namun masih berada di bawah kriteria imkanur rukyat yang ditetapkan MABIMS. Kedua, Kemenag telah melaksanakan pemantauan atau rukyatul hilal pada 99 titik di Indonesia. "Dari 34 provinsi yang telah kita tempatkan pemantau hilal, tidak ada satu pun dari mereka yang menyaksikan hilal," kata Wamenag.

Wakil Ketua Umum PBNU KH. Zulfa Mustofa, saat mengumumkan hasil Rukyatul Hilal di intern organisasinya, telah menetapkan yang sama, seperti Pemerintah. Bahwa 1 Dzulhijjah 1444 H jatuh pada hari Selasa, 20 Juni 2023 M. Keputusan PBNU ini didasarkan atas laporan rukyatul hilal yang tidak berhasil melihat hilal di seluruh titik di Indonesia. 

Dari hasil keputusan Pemerintah dan PBNU dalam penetapan 1 Dzulhijjah 1444 H. dapat disimpulkan bahwa hari Arafah, 9 Dzulhijah 1444 H. adalah bertepatan dengan hari Rabu, 28 Juni 2023 M. Sementara Idul Adha, 10 Dzulhijjah 1444 H pada hari Kamis, 29 Juni 2023 M. 

Pemerintah Arab Saudi telah menentukan hari yang sama seperti Muhammadiyah, kendati metode dan system penetapan awal bulan keduanya berbeda. Berdasarkan pemantauan pada Minggu, 18 Juni 2023, bulan sabit terlihat di Arab Saudi, sehingga menetapkan Idul Adha pada Rabu, 28 Juni 2023. Dengan demikian, jika mengacu kepada keduanya, maka jama’ah haji Wukuf di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah, adalah pada hari Selasa, 27 Juni 2023. 

Dari dua keputusan yang berbeda sebagaimana diutarakan di atas, maka pertanyaannya adalah, bagaimana dengan pelaksanaan puasa Arafah di Indonesia, apakah Harus dilaksanakan hari Selasa, 27 Juni 2023 dengan mengikuti ketetapan Arab Saudi, ataukah dilaksanakan Rabu, 28 Juni 2023 dengan mengikuti ketetapan Pemerintah Indonesia? 

Pemerintah dan PBNU dalam soal penetapan awal bulan hijriyah, keduanya telah memiliki metode dan cara yang sama. Pun begitu, dalam soal kapan dilaksanakannya puasa Arafah disaat adanya perbedaan penetapan awal bulan, sekalipun perbedaan itu terjadi dengan Arab Saudi. Pemerintah tetap berdasarkan keputusan Sidang Istbat Ru’yatul Hilal. 

Rais Syuriyah PBNU KH Cholil Nafis yang juga sebagai Ketua Pengurus Pusat MUI Bidang Dakwah menjelaskan, bahwa puasa Arafah yang dilaksanakan setiap tanggal 9 Dzulhijah tidak ada kaitannya dengan wukuf di Arafah. NU berpegang pada pendapat yang menegaskan perbedaan wilayah menunjukkan perbedaan waktu. 

NU menganut pada ta'addudul mathali, perbedaan masing-masing wilayah terhadap melihatnya hilal. Perbedaan waktu karena beda wilayah. Dianalogikan antara waktu Dzuhur di Indonesia dan Arab Saudi berbeda. Hal itu menunjukkan wilayah itu adalah berbeda dengan waktunya. Pandangan demikian sudah menjadi keputusan Muktamar Ke-30 NU Tahun 1999 di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. (NU Online, 18/6/2023). 

Mengutip tulisan Abdul Rachman, M.H.I. berjudul, Hari Arafah dan Puasa Arafah, Bolehkah Berbeda? Tulisan itu dimuat dilaman resmi Kemenag Sumsel, Senin 20 Agustus 2018. Bahwa tidak ada yang salah dengan Pemerintah yang sudah bersusah payah melakukan usaha dalam penentuan awal Dzulhijjah, walaupun pada akhirnya terdapat perbedaan antara hasil yang diputuskan dengan apa yang diputuskan oleh Arab Saudi. 

Lantas ia menjelaskan ada pendapat yang bisa dijadikan patokan, yang bersumber dari salah seorang ulama terkemuka Saudi sendiri. Ulama ini malah meyarankan untuk tetap mengikuti hasil keputusan lokal (negeri tempat tinggalnya), dan tidak harus mengikuti keputusan Saudi. 

Syaikh Ibnu Utsaimin mengemukan dalam fatwanya, artinya: “Dan yang benar itu adalah sesuai perbedaan mathla’ (tempat terbit hilal). Sebagai contoh, kemarin hilal sudah terlihat di Mekah, dan hari ini adalah tanggal 9 Dzulhijjah. Sementara di negeri lain, hilal terlihat sehari sebelum Mekah, sehingga hari wukuf Arafah menurut warga negara lain, jatuh pada tanggal 10 Dzulhijjah, maka pada saat itu, tidak boleh bagi mereka untuk melakukan puasa. Karena hari itu adalah hari raya bagi mereka. Demikian pula sebaliknya, ketika di Mekah hilal terlihat lebih awal dari pada negara lain, sehingga tanggal 9 di Mekah, posisinya tanggal 8 di negara tersebut, maka penduduk negara itu melakukan puasa tanggal 9 menurut kalender setempat, yang bertepatan dengan tanggal 10 di Mekah. Inilah pendapat yang kuat. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila kalian melihat hilal, lakukanlah puasa dan apabila melihat hilal lagi, (hari raya), berbukalah.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin),” tulis Abdul Rachman. 

Penulis mengajak kepada seluruh umat Islam untuk tidak mempertentangkan perbedaan yang sudah sering terjadi ini. Sikapi perbedaan itu dengan bijak dengan tetap saling menghargai dan menghormati. Jangan juga ragu untuk mengikuti ketetapan Pemerintah, sekalipun berbeda dengan Arab Saudi. Bagi warga NU, ikuti ketetapan PBNU, pun bagi warga Muhammadiyah, ikuti ketetapan organisasinya.

Wallahu a’lam.

Lebih baru Lebih lama