KUA Benua Kayong
KUA Benua Kayong

Menghapus Dikotomi Ilmu Agama dan Ilmu Umum

 

Oleh: M. Syafi’ie Huddin

Salah satu persoalan mendasar dalam dunia pendidikan dan pemikiran Islam modern adalah munculnya dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Pemahaman ini menimbulkan kesan seolah-olah ilmu agama memiliki kedudukan lebih tinggi dan mulia karena berkaitan dengan akhirat, sementara ilmu umum hanya berguna untuk urusan duniawi semata. Pandangan semacam ini, meski sering lahir dari kalangan yang memiliki latar belakang keagamaan, sejatinya keliru dan bertentangan dengan hakikat ajaran Islam. Padahal, Islam sama sekali tidak mengenal pemisahan antara keduanya. 

Fenomena ini bahkan tampak nyata di sebagian lembaga pendidikan Islam yang masih menomorduakan pendidikan formal umum. Mata pelajaran sains, matematika, atau bahasa seringkali dianggap pelengkap semata, bukan kebutuhan penting.Tak jarang proses belajarnya terkesan asal-asalan — guru jarang hadir, siswa hanya difokuskan pada hafalan agama, dan pada akhir semester yang penting bisa ikut ujian. Padahal, semangat Islam sejati tidak memisahkan antara pendidikan agama dan umum; keduanya adalah bagian dari proses pembentukan manusia seutuhnya.

Dalam pandangan Islam, semua ilmu yang membawa manfaat bagi manusia, menegakkan keadilan, dan mendekatkan seseorang kepada Allah SWT adalah ilmu yang bernilai ibadah. Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim).

Hadis ini tidak membatasi jenis ilmu yang dimaksud. Selama ilmu itu mengantarkan kepada kemaslahatan, baik melalui pengajaran fikih maupun penemuan teknologi, keduanya sama-sama menjadi jalan menuju ridha Allah. Al-Qur’an sendiri banyak mengajarkan pentingnya berpikir, meneliti, dan memahami ciptaan Allah sebagai bentuk penghambaan. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Ali Imran [3]: 190).

Ayat ini mengandung seruan kepada manusia untuk mengkaji fenomena alam, yang notabene merupakan bidang sains dan ilmu pengetahuan. Maka, seorang astronom yang meneliti peredaran planet dengan niat menyingkap kebesaran Allah tidak berbeda nilainya dengan seorang ulama yang menafsirkan ayat Al-Qur’an. Keduanya sedang melakukan ibadah dengan cara yang berbeda. 

Demikian pula firman Allah SWT: “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah [58]: 11). Ayat ini tidak membedakan antara ilmu syar’i dan ilmu kauni (alam). Semua ilmu yang menambah keimanan dan kemaslahatan manusia, mendapat tempat mulia di sisi Allah. 

Sejarah peradaban Islam telah membuktikan bahwa ilmu agama dan ilmu umum tidak pernah berjalan terpisah. Pada masa keemasan Islam, sekitar abad ke-8 hingga ke-13 Masehi, para ulama sekaligus ilmuwan memadukan nilai spiritual dan rasional dalam satu tarikan napas keilmuan. Nama-nama besar seperti Ibnu Sina (Avicenna) dikenal sebagai Bapak Kedokteran Modern melalui karyanya Al-Qanun fi at-Tibb; Al-Khawarizmi, Bapak Aljabar yang namanya diabadikan menjadi istilah “algoritma”. 

Kemudian Ibnu Al-Haitham (Alhazen), Bapak Optik Modern yang mengembangkan metode ilmiah eksperimental; Ar-Razi, dokter yang pertama kali membedakan cacar dan campak; serta Al-Biruni, ahli astronomi yang menghitung keliling bumi dengan akurasi luar biasa. Mereka adalah ulama sekaligus ilmuwan. Mereka tidak melihat kontradiksi antara membaca Al-Qur’an dan meneliti alam semesta. 

Bagi mereka, ilmu agama memberi arah dan etika, sementara ilmu sains memberi daya cipta dan kemanfaatan. Keduanya berpadu dalam semangat tauhid—bahwa semua pengetahuan bersumber dari Allah. Pemahaman yang memisahkan antara ilmu agama dan ilmu umum sebenarnya muncul dari pengaruh sekularisasi Barat yang memisahkan urusan dunia dengan agama. 

Paradigma ini kemudian tanpa disadari diadopsi sebagian umat Islam. Akibatnya, muncul pandangan bahwa mempelajari fisika, biologi, ekonomi, atau teknologi tidak ada hubungannya dengan nilai-nilai akhirat. Padahal, Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin telah menjelaskan bahwa ilmu dibagi menjadi fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Ilmu agama termasuk fardhu ‘ain, yakni wajib dipelajari setiap individu.

Sementara ilmu yang berguna untuk kemaslahatan umat —seperti kedokteran, teknik, pertanian, dan ilmu sosial— tergolong fardhu kifayah. Jika umat Islam meninggalkan bidang-bidang ini, maka seluruh umat berdosa. Inilah bukti bahwa dalam Islam, menguasai ilmu umum bukan hanya kebutuhan, melainkan juga tanggung jawab keagamaan. Firman Allah SWT menegaskan: “Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya.” (QS. Hud [11]: 61). 

Memakmurkan bumi memerlukan ilmu dan kerja nyata. Tanpa penguasaan teknologi, sains, dan manajemen, perintah ini tidak akan terwujud. Sudah saatnya umat Islam mengembalikan kesatuan pandangan bahwa semua ilmu berasal dari Allah dan bermuara kepada-Nya. Ilmu agama memberi arah, sedangkan ilmu umum memberi alat. Keduanya saling melengkapi, bukan saling menegasikan. 

Seorang ilmuwan yang meneliti demi kemaslahatan umat dengan niat ikhlas, sesungguhnya sedang beribadah sebagaimana seorang ulama yang berdakwah di mimbar. Rasulullah SAW menegaskan: “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya.”(HR. Bukhari dan Muslim). Artinya, nilai suatu ilmu tidak ditentukan oleh bidangnya, tetapi oleh niat dan manfaatnya. 

Maka, jangan lagi ada dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Islam memandang keduanya dalam satu kesatuan yang utuh —ilmu yang menuntun manusia mengenal Allah dan menebar manfaat di bumi-Nya. Sebab pada hakikatnya, setiap ilmu yang membawa manusia kepada kemaslahatan adalah ilmu agama. Wallahu 'alam.


Ketapang, 11 Oktober 2025

Dimuat di Pontianak Post, tanggal 12 Oktober 2025

Lebih baru Lebih lama