KUA Benua Kayong
KUA Benua Kayong

Masjid yang Terisi Kayu: Cermin Spiritual dan Ekologis Bangsa

 

Oleh : M. Syafi'ie Huddin


Banjir bandang yang menumpuk gelondongan kayu di dalam Masjid Taqwa Garoga di Kecamatan Batang Toru, Tapanuli Selatan, memunculkan fakta yang menarik sekaligus menggugah nurani. Dalam video yang dibagikan jurnalis TvOne melalui akun TikTok pribadinya, @affandinofri, tampak masjid itu tetap berdiri kokoh dari luar. Namun di bagian dalam, ruang yang biasanya menjadi tempat sujud kini dipenuhi kayu besar, lumpur, dan sisa-sisa amukan air. 


Peristiwa ini, bagi saya, bukan hanya soal bencana alam. Ada makna sosial dan spiritual yang dapat kita baca, bukan sebagai klaim tentang kehendak Tuhan, melainkan sebagai refleksi atas kondisi umat. Dua pelajaran penting muncul sebagai cermin dan refleksi bagi kita semua. 


Pertama, masjid yang kuat berdiri namun kosong aktivitasnya bukan lagi hal baru. Shaf semakin renggang, jamaah berkurang, dan masjid perlahan kehilangan fungsinya sebagai pusat kehidupan masyarakat. Ketika ruang ibadah tidak lagi dimakmurkan manusia, kekosongan itu seperti dibiarkan terbuka. Pada suatu waktu, kekosongan itu bisa terisi oleh sesuatu yang tidak kita harapkan, dalam kasus ini, gelondongan kayu. Tentu saya tidak mengatakan bahwa Masjid Taqwa Garoga sepi atau tidak dimakmurkan. Refleksi ini bersifat umum, bukan kritik terhadap pengurus atau jamaah setempat. 


Bagi saya, ini menjadi simbol yang ironis, masjid yang tidak diisi manusia justru “diisi” oleh alam. Kayu-kayu yang berserakan di area salat dapat dipandang sebagai wajah baru dari ruangan yang kehilangan ritme ibadah. Tempat yang semestinya rapi dan tertata berubah menjadi tumpukan benda tak bernyawa. Ini bukan semata akibat banjir, tetapi gambaran tentang apa yang terjadi ketika masjid kehilangan denyut hidup para jamaahnya. 


Ruang yang tidak dimakmurkan perlahan kehilangan kesakralannya di mata masyarakat. Dan ketika bencana datang, ruang itu menjadi rentan terhadap segala kemungkinan. Saya tidak mengatakan bahwa bencana itu hukuman. Namun musibah memang sering membuka ruang refleksi. 


Masjid yang tetap berdiri tetapi dipenuhi kayu memberi pesan bahwa bangunan fisik bisa saja kuat, tetapi kehadiran manusia yang memakmurkannya jauh lebih penting. Ini mengingatkan kita bahwa masjid bukan hanya soal arsitektur, kubah megah, atau bangunan kokoh, melainkan kehidupan spiritual yang dihidupkan oleh umatnya. 


Peristiwa ini seharusnya membangunkan kesadaran kolektif, bahwa masjid adalah cermin kehidupan sosial umat. Ketika masjid sepi, itu tanda kita mulai menjauh dari pusat kehidupan rohani. Dan ketika masjid kosong, ia bisa saja menunggu untuk “diisi” oleh sesuatu selain manusia. 


Menurut saya, yang perlu dilakukan bukan sekadar membersihkan kayu-kayu itu, tetapi juga mengembalikan langkah-langkah manusia menuju masjid, agar rumah ibadah kembali menjadi tempat hidup, bukan sekadar bangunan yang kokoh namun kesepian. 


Kayu-kayu di Masjid Taqwa Garoga tidak perlu ditafsirkan berlebihan. Namun peristiwa itu bisa menjadi cermin bagi kita, bahwa masjid yang tidak dihidupkan jamaahnya akan kehilangan makna, meski bangunannya tetap tegak. Ini saatnya menyadari bahwa kekuatan masjid bukan pada temboknya, tetapi pada umat yang mengisinya. 


Kedua, pembabatan liar di berbagai daerah sudah mencapai titik yang tak lagi bisa ditutupi. Hutan ditebang dengan rakus, bukit digunduli tanpa ampun, dan pepohonan tumbang bukan karena takdir alam, tetapi karena kerakusan manusia. Kita hidup di zaman ketika pohon tumbang lebih cepat daripada manusia belajar bersyukur. 


Di tengah kehancuran itu, gelondongan kayu yang menumpuk di Masjid Taqwa Garoga setelah banjir bandang menghadirkan ironi yang menyentuh hati, seolah kayu pun sedang berlari mencari perlindungan, dan satu-satunya tempat yang tersisa adalah rumah Allah. Tentu kayu tidak benar-benar berbicara, tetapi simbolisme itu terlalu kuat untuk diabaikan. 


Pembabatan liar telah memaksa pepohonan kehilangan habitat yang sejak awal Allah titipkan untuk mereka. Hutan, yang semestinya menjadi “masjid alami” tempat makhluk bertasbih dengan caranya, dihancurkan seperti bukan apa-apa. Jika kayu bisa bersuara, barangkali ia akan berkata: “Sudah tak ada tempat aman di bumi ini, selain rumah Allah yang kalian sendiri jarang masuki.” 


Dalam perspektif ekologi, banjir bandang yang membawa gelondongan kayu adalah konsekuensi langsung dari rusaknya hutan. Dalam perspektif spiritual, ini bisa dibaca sebagai teguran keras bahwa manusia telah gagal menjaga amanah bumi. 


Ada ironi yang menyayat, bangunan yang berdiri untuk menjadi tempat manusia berlindung justru menjadi tempat benda-benda alam mencari “perlindungan” dari ulah manusia. Secara simbolik, hal itu menyampaikan pesan bahwa bumi kehilangan keseimbangannya; bahwa manusia kehilangan rasa takut pada dampak perbuatannya; dan bahwa masjid tetap menjadi tempat yang paling suci bahkan bagi simbol-simbol alam yang hancur. 


Kayu-kayu itu tidak datang untuk merusak. Mereka terbawa oleh banjir yang lahir dari luka yang dibuat manusia sendiri. Namun penampakan kayu memenuhi masjid mengingatkan kita bahwa yang selama ini kita jarah kini berbalik mengetuk pintu rumah ibadah kita. 


Masjid adalah rumah Allah, tempat paling aman bagi manusia. Tetapi kini metaforanya berkembang: alam pun seakan mencari perlindungan di sana. Secara spiritual, ini menggugah pertanyaan penting: Jika makhluk lain saja “berlari” ke masjid, mengapa manusia justru semakin menjauh darinya? Gelondongan kayu bukan hanya kayu; ia adalah sindiran tegas bahwa masjid kosong bukan hanya dari jamaah, tetapi juga dari kesadaran kolektif manusia untuk menjaga bumi. 


Kayu yang masuk ke masjid bukan hanya peristiwa fisik akibat banjir. Ia adalah cermin besar tentang bagaimana manusia memperlakukan bumi. Kerakusan telah mengusir pepohonan dari hutan, dan kini sisa-sisa tubuh mereka terseret masuk ke rumah Allah. Ini bukan hanya tragedi ekologis, tetapi tragedi spiritual. Dan barangkali, melalui pemandangan itu, kita sedang diminta untuk tidak lagi menutup mata. Wallahu 'Alam.


Lebih baru Lebih lama